Latifah (Kelembutan) Tafsir Surat Al-Fatihah, 1-7

لطائف التفسير ( ۱‒۷ )

Latifah (kelembutan) tafsir Surat Al Fatihah, 1-7
Pengajian IPNU-IPPNU PAC KECAMATAN TARUMAJAYA
Kitab Rawa’i Al Bayan Tafsir Ayat Al Ahkam Min Al-Qur’an
Minggu, 26 April 2020

Oleh. Ahmad Lahmudin

اللطيفة الأولى (Latifah 1)

Allah Jalla wa ‘Ala memerintahkan untuk membaca at-Ta’awwuz, yaitu kalimat اعوذ بالله من الشيطان الرجيم , ketika membaca Al-Qur’an;

فإذا قرأتَ القرﺁن فاستعِذْ بالله من الشيطان الرجيم

‘Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur’an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.’ (QS. An-Nahl: 98)

Berkata Ja’far as-Shodiq, sudah seharusnya ketika membaca Al-Qur’an didahului oleh bacaan ‘at-Ta’awwuz’. Untuk pekerjaan yang mempunyai nilai ketaatan lainnya maka tidak dianjurkan untuk membacanya. Hikmah membaca ‘at-Ta’awwuz’ sebelum membaca Al-Qur’an disebabkan lisan hamba terkadang menjadi najis sebab berbohong, ghibah (menggunjing), namimah (adu domba). Kemudian Allah memerintahkan hamba-Nya untuk membaca ‘at-Ta’awwuz’ agar lisannya kembali suci. Maka Al-Qur’an yang diturunkan dari Tuhan Yang Baik dan Suci dibaca oleh hamba dengan lisan yang suci pula.

اللطيفة الثانية (Latifah ke-2)

Masyhur dikalangan ahli bahasa bahwa ucapan ‘al-Basmalah’ adalah ungkapan dari kata بسم الله الرحمن الرحيم . Ini banyak diungkapan, baik dalam syi’ir maupun prosa. Seperti perkataan seorang penyair;

لقد بسملتْ ليلى غداة لقيتُها ○ فيا حبّذا ذاك الحبيبُ المبسملُ

‘Sungguh aku berjumpa Laila di pagi hari sedang membaca basmalah. Alangkah bagusnya sang kekasih yang membaca basmalah’

Dimulainya Al-Qur’an dengan bacaan basmalah menunjukkan kepada kita agar setiap perbuatan dan perkataan kita hendaknya dimulai pula dengan membaca basmalah. Sungguh terdapat di dalam hadis yang mulia;

كل أمر ذي بالٍ لا يُبدأ فيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو أبتر أي ناقص

‘Setiap perkara yang mempunyai nilai kebaikan yang tidak dimulai dengan membaca basmalah maka akan mengurangi keberkahan’

Bila ada pertanyaan, mengapa dengan redaksi بسم الله , bukan dengan ungkapan بالله ? Maka jawabnya sebagaimana yang diutarakan oleh al-Allamah, Abu Su’ud, yaitu untuk membedakan antara ungkapan يمين (sumpah) dengan ungkapan التيمّن (mengambil keberkahan). Sebab ungkapan بالله menunjukkan kepada dua kemungkinan, antara makna sumpah atau makna keberkahan. Dengan menambahkan kata الإسم maka hanya tertentu kepada makna keinginan untuk meminta keberkahan dan pertolongan dengan menyebut kata Allah Ta’ala. Kemungkinan mengarah kepada makna sumpah menjadi hilang.

اللطيفة الثالثة (Latifah ke-3)

Sebagian ulama berpendapat bahwa kata الإسم adalah Dzat yang dituju. Maka perkataan بسم الله sama halnya dengan mengatakan بالله . Dengan demikian lafaz الإسم dianggap lemah. Pendapat ini ditentang oleh Ibnu at-Thabari.

Berkata Ibnu Jarir at-Thabari, seandainya diperbolehkan dan dianggap sah pendapat sebagian ulama tersebut, maka diperbolehkan ungkapan رأيتُ اسم زيد (saya melihat Zaid), وأكلت اسم الطعام (saya memakan makanan), وشرِبتُ اسم الدواء (saya meminum obat). Yang demikian itu dianggap mustahil di dalam ijma (konsensus) orang-orang Arab. Maka tafsir sebagian ulama tersebut juga dianggap keliru. Ketika mereka ditanya, “Apakah kamu memperbolehkan di dalam bahasa Arab sebuah ungkapan أكلت اسم العسل , يعني أكلت العسل (dengan artian aku memakan madu)?”

Aku berpendapat, yang benar menurutku adalah pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya kata الإسم berfungsi sebagai pemisah antara makna sumpah dan memohon keberkahan.

Berkata al-Allamah, Abu Su’ud, Allah Ta’ala berfirman dengan kata بسم الله bukan dengan kata بالله karena untuk membedakan makna sumpah dan memohon keberkahan. Atau untuk mewujudkan tujuan dari permohonan. Maka dengan menyebut kata الإسم menjadi hilang kemungkinan ditujukan kepada hakekat yang disebut, yaitu Allah. Huruf ‘ba’ menjadi tertentu dibawa kepada makna meminta pertolongan atau memohon keberkahan.

اللطيفة الرابعة (Latifah ke-4)

Perbedaan antara lafal الله dan الإله adalah sesungguhnya lafal الله merupakan isim ‘alam’ (nama) bagi Dzat yang disucikan yang tidak bersekutu kepada selain-Nya. Maknanya, Allah adalah Dzat yang wajib disembah dengan sebenar-benarnya. Sedangkan lafal الإله adalah sebutan bagi Allah Ta’ala juga bagi selain-Nya. الإله diambil dari kata أَلَهَ yang berarti sesuatu yang disembah, baik yang sebenar-benarnya yang disembah maupun tidak. Berhala-berhala yang pernah disembah oleh orang-orang Arab dinamai ﺁلِهَةٌ , bentuk jamak dari إلهٌ . Mereka dianggap keliru sebab menyembah patung-patung bukan kepada Allah Ta’ala. Tidak ada satupun dari berhala-berhala tersebut mereka beri nama الله . Bahkan ketika mereka ditanya, siapa yang telah menciptakan mereka? Atau siapa yang telah menciptakan langit dan bumi? Mereka menjawab, الله . Ini diceritakan dalam Al-Qur’an surat Al-Ankabut, ayat 61;

ولَئِنْ سأَلْتَهُمْ مَّنْ خَلَقَ السمواتِ والأرضَ لَيقُوْلُنَّ اللهُ …

‘Dan jika engkau bertanya kepada mereka, “siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Pasti mereka akan menjawab, “Allah.”

اللطيفة الخامسة (Latifah ke-5)

Kalimat بسم الله الرحمن الرحيم mempunyai beberapa faedah yang agung. Diantaranya, memohon keberkahan dengan menyebut nama Allah Ta’ala. Faedah lainnya, menampakkan perbedaan atas orang-orang musyrik yang memulai urusan mereka dengan menyebut patung-patung atau lainnya yang mereka sembah. Faedah lainnya, perasaan tenteram bagi orang yang khawatir dan bagi orang yang mengucapkannya bertujuan ingin menuju kepada Allah Ta’ala. Fedah berikutnya, pengakuan atas ketuhanan, nikmat yang diberikan-Nya serta permintaan pertolongan hanya kepada Allah Ta’ala. Faedah lainnya yaitu ada dua nama yang dikhususkan, yaitu الله dan الرحمن .

اللطيفة السادسة (Latifah ke-6)

Huruf ‘alif’ dan ‘lam’ pada kata الحمد yaitu bermakna menghabiskan macam jenis. Maknanya, tidak ada pujian yang sempurna, yang mencakup kecuali kepada Allah, Tuhan semesta alam. Dialah Tuhan yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Yang berhak atas semua keagungan dan kesucian. Bentuk kalimat الحمد لله menunjukkan kepada isim ma’rifat yang mempunyai arti bahwa pujian kepada Allah merupakan perkara yang kekal yang terus menerus, bukan perkara yang baru.

اللطيفة السابعة (Latifah ke-7)

Faedah dari kata الرحمن الرحيم setelah lafal رب العالمين yaitu bahwa sesungguhnya lafal الرب menunjukkan makna sombong, kekuasaan dan memaksa. Ketika seseorang mendengar kata الرب maka yang terlintas adalah Maha Perkasa, Maha Kuasa, tidak punya kasih sayang kepada hamba-Nya. Lalu timbul dalam diri hamba perasaan takut serta putus asa. Oleh karena itu di datangkanlah kata الرحمن الرحيم untuk menguatkan bahwa Allah Azza wa Jalla Maha Pengasih, Maha Penyayang. Rahmat-Nya mencakup untuk semua.
Abu Hayyan berkata, Allah memulai firman-Nya dengan sifat ketuhanan, yaitu الرب . Jika lafal الرب bermakna السيد (Tuan yang dimesti ditaati), atau bermakna المالك (Pemilik), atau bermakna المعبود (Dzat yang disembah), maka perbuatan sifatnya kembali kepada yang disifatinya. Sifat tersebut adalah الرحمانية (yang pengasih), dan الرحيمية (yang penyayang). Dengan demikian akan terbentang dalam benak hamba sifat pemaafnya Tuhan ketika hamba tergelincir dalam kesalahan. Terbentang rasa optimis akan rahmat-Nya ketika hamba keliru dari jalan yang benar.
Ibnu Qayyim berpendapat, mengumpulkan الرحمن dan الرحيم dalam satu kalimat الرحمن الرحيم termasuk dalam makna ‘badi’ (memperbagus susunan kalimat). Lafal الرحمن menunjukkan sifat yang ada pada Allah Ta’ala. Sedangkan lafal الرحيم menunjukkan keterkaitan sifat tersebut dengan sesuatu yang disayangi. Dengan demikian, الرحمن merupakan sifat rahmatnya Allah. Sedangkan الرحيم merupakan realisasi, aplikasi tindakan dari sifat-Nya tersebut, berupa kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya. Bila kamu berkeinginan memahami ini maka renungi firman Allah berikut;
وكان بالمؤمنين رحيما
‘Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman’ (QS. Al-Ahzab:43)
إنه بهم رءوفٌ رحيمٌ
‘Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka’ (QS. At-Taubah: 117)
Dua ayat di atas tidak diiringi dengan kata رحمن . Dengan demikian, lafal رحمن merupakan objek sifat rahmatnya Allah. Sedangkan رحيم merupakan tindakan dari sifat rahmatnya Allah.
Dapat disimpulkan, bahwa makna الرحمن adalah Dzat yang memberi setiap nikmat yang besar. Sedangkan الرحيم adalah Dzat yang memberi setiap nikmat yang kecil. Sebagian pendapat mengatakan, kedua lafal tersebut mempunyai satu makna. Lafal kedua menguatkan makna lafal yang pertama. Ini merupakan pendapat dari as-Shabban dan al-Jalal. Pendapat kedua ini termasuk pendapat yang dhaif (lemah). Sebab menurut Ibnu Jarir at-Thabari, tidak dijumpai di dalam Al-Qur’an satu kalimat tanpa ada tujuannya.
Pendapat yang diunggulkan adalah pendapat Ibnu Qayyim yang mengatakan bahwa sifat yang pertama menunjukkan kepada rahmat yang tetap bagi Allah Ta’ala. Sedangkan yang kedua menunjukkan kepada perbuatan-perbuatan yang terkait dengan sifat tersebut.

Wa Allahu A’lam ..

Post Author: Administrator

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *