Kitab Ghaitsul Mawahib Al Aliyyah fi Syarhil Hikami Al ‘Athoiyah

Pertemuan ke – 40

Syekh Abi Abdullah Muhammad bin Ibrahim bin ‘Abbad An Nafazi Ar Randi

Ranting NU Bogasari dan HMR

Selasa, 2 Februari  2021

Oleh. Ahmad Lahmudin

أصْلُ كلِّ معصيةٍ وغَفْلةٍ وشهوةٍ الرضا عن النَّفْسِ , وأصلُ كل طاعةٍ ويَقْظةٍ وعٍفَّةٍ عدمُ الرِّضا منك عنها

‘Asal setiap maksiat, lupa, dan syahwat, yaitu rela kepada nafsu. Sedangkan asal setiap ketaatan, kewaspadaan, dan menjauhkan diri dari yang tidak baik, yaitu kamu tidak rela kepada nafsu’

Rela kepada nafsu merupakan asal semua sifat-sifat yang tercela. Tidak rela kepada nafsu adalah asal sifat-sfat terpuji. Seluruh orang-orang yang ma’rifat dan orang-orang yang memiliki hati sepakat akan hal ini. Sebab, rela kepada nafsu akan menyebabkan tertutupnya aib-aib dan keburukan-keburukannya. Keburukannya akan menjadi kebaikan. Sebagaimana dikatakan;

  عينُ الرضا عن كل عيبٍ كليلةٌ

‘Mata yang penuh kerelaan terhadap setiap kekurangan akan menyebabkan kebutaan’

Tidak rela kepada nafsu akan berakibat kepada kebalikannya. Sebab, seorang hamba ketika dalam kondisi demikian akan mencurigai dirinya, mencari-cari aibnya sendiri, dan tidak terperdaya kepada ketaatan dan ketertundukan yang terlihat olehnya. Sebagaimana dikatakan di separuh bait yang lain;

 كما أنّ عينَ السُّخْطِ تُبدِى المَساوِيَا

‘Sebagaimana, sesungguhnya mata yang dipenuhi kebencian akan menampakkan keburukan’ Barang siapa yang rela kepada nafsunya maka akan menganggap baik kepada keadaan nafsunya dan senang kepadanya. Barang siapa yang menganggap baik kepada nafsunya dan menyenanginya maka dirinya akan dikuasai oleh kelupaan. Sebab lupa, hatinya akan berpaling dari mengoreksi dan menjaga pikiran-pikiran. Ketika itu timbul ajakan-ajakan syahwat (keinginan) atas hamba. Tidak ada sesuatu yang mengawasi dan mengingatkannya sehingga dapat

mencegah dan mengalahkan nafsunya. Dengan sebab itulah syahwat dapat mengalahkannya. Barang siapa yang dikalahkan oleh nafsunya maka pasti ia akan terjerumus kepada kemaksiatan. Asal semua itu adalah rela kepada nafsunya.

Barang siapa yang tidak rela kepada nafsunya maka tidak menganggap baik kepada kondisi nafsunya serta  tidak menyukainya. Barang siapa yang memiliki sifat ini maka ia akan waspada serta memperhatikan jalan dan penghalang. Dengan waspada dan memperhatikan maka dimungkinkan untuk mengoreksi dan menjaga pikirannya. Ketika itu, maka padam api syahwat. Maka nafsu tidak lagi dapat menang, tidak pula mengalahkan. Ketika itu, seorang hamba memiliki sifat ‘iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik). Jika telah memiliki sifat ‘iffah, maka dia dapat menjauhkan dirinya dari apa-apa yang Allah larang, dan menjaga seluruh apa yang diperintahkan-nya. Inilah makna dari ta’at kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Asal semua ini adalah tidak rela kepada nafsunya.

Oleh karena itu, tidak ada sesuatu yang lebih wajib bagi seorang hamba selain mengetahui kepada nafsunya. Wajib tidak rela kepada nafsunya. Ketika seorang hamba telah mengetahui nafsunya maka keadaannya menjadi baik dan menjadi tinggi maqamnya. Sungguh, telah datang dari para tokoh dan para imam yang terpilih, berupa kalimat-kalimat yang mengandung dan menuduh atas aib-aib dan nafsu-nafsu mereka. Ketiadaan relanya mereka kepada nafsu itu lebih besar.

Kerena itulah Abu Hafs radiallahu ‘anhu berkata, “Barang siapa yang tidak mencurigai nafsunya di seluruh waktu-waktunya, tidak menganggap salah kepada nafsunya di seluruh keadaannya, dan tidak bisa membawa nafsunya kepada yang dibenci oleh nafsunya di seluruh hari-harinya, maka ia telah tertipu. Barang siapa yang melihat dirinya dengan memandang baik kepada sesuatu dari dirinya, maka dia telah menghancurkan dirinya sendiri. Bagaimana mungkin bisa dibenarkan bagi orang yang berakal, rela kepada nafsunya? Yang mulia (nabi Yusuf), putra dari orang yang mulia (nabi Ya’kub), putra dari orang mulia (nabi Ishaq), berkata;

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ

‘Dan aku tidak menyatakan diriku bebas dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan’ (QS. Yusuf: 53) Abu Hafs radiallahu ‘anhu juga berkata, “Sejak empat puluh tahun lamanya, keyakinan dalam diriku, sesungguhnya Allah melihat

kepadaku dengan penglihatan yang marah. Amal-amalku menunjukkan kepada hal tersebut!”

Wa Allahu Ta’ala Waliyyu at-Taufik

Post Author: Administrator

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *