Pengajian Kitab Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratul ‘Ain (ke- 5)

Pengajian kitab Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratul ‘Ain (ke- 5)

Syekh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibari

Ranting NU Bogasari dan HMR Sabtu, 22 Agustus 2020

Oleh. Ahmad Lahmudin

فصلٌ فى شُروط الصلاة

Pasal tentang syarat-syarat shalat

الشَّرْطُ ما يَتوقّفُ عليه صِحّةُ الصلاةِ وليس منها وقُدِّمَتْ الشروطُ على الأركانِ لأَنّها أَوْلى بِالتَّقْديمِ إِذِ الشَّرطُ ما يجبُ تقديمُهُ على الصلاة واستِمْرارُهُ فيها

Syarat adalah sebagai penentu sahnya shalat. Sama seperti Rukun. Keduanya menjadi penyebab adanya shalat. Bedanya, jika Syarat ada di luar hakekat shalat, sedangkan Rukun merupakan bagian dari shalat itu sendiri. Syarat didahulukan dari Rukun oleh karena Syarat lebih berhak untuk didahulukan. Sebab Syarat wajib berada di awal shalat, ketika shalat hingga berakhirnya shalat.

-شُىروطُ الصلاةِ خمسةٌ أحدُها طهارةٌ عن حدَثٍ وجنابةٍ- الطّهارةُ لغةً النّظافةُ والْخُلوصُ مِن الدَّنَسِ وشرْعًا رفْعُ الْمنْعِ الْمُتَرَتِّبِ على الْحدَثِ أو النّجْسِ

Syarat-syarat shalat ada lima. Pertama, Thaharah (bersih) dari hadas (hadas kecil yaitu keluarnya sesuatu dari dua jalan, seperti keluar angin dan lainnya maka wajib thaharah) dan Janabah ( sebab keluar air mani atau jima’). Thaharah secara bahasa adalah bersih dari kotoran. Sedangkan Thaharah secara syar’i adalah menghilangkan penghalang yang disebabkan oleh hadas dan najis.

-فَالْأُولَى- أى الطّهارةُ عن الحدثِ (الْوُضُوءُ) وهو بِضَمِّ الْواوِ اِسْتعمالُ الماءِ فى أعْضاءٍ مَخْصوصةٍ مُفْتتَحًا بِنيّةٍ وبفتْحِها ما يُتَوَضَّأُ به وكان اِبْتداءُ وجوبه مع ابتداء وجوبِ الْمكْتوبةِ ليلةَ الإسراء

Adapun thaharah yang pertama, yang dimaksud di sini adalah thaharah dari hadas, yaitu dengan wudlu. الْوُضُوء (dengan dibaca dlommah huruf Wawu nya), yaitu mempergunakan air pada anggota-anggota wudlu yang khusus yang dimulai dengan niat. Sedangkan الْوَضُوء (dengan dibaca fathah huruf Wawunya), yaitu nama sesuatu yang dipersiapkan untuk berwudlu, seperti air yang berada di dalam teko. Awal pertama diwajibkannya wudlu yaitu bersamaan dengan awal pertama diwajibkannya shalat lima waktu di malam Isranya Nabi.

-وشُروطُه- أى الوضوءِ (كشروط الغُسْل) خمسةٌ أحدها (ماءٌ مُطْلَقٌ) فلا يَرْفَعُ الحدثَ ولا يُزِيْلُ النَّجَسَ ولا يُحَصِّلُ سائِرَ الطّهارةِ ولو مَسْنونةً إلا الْماءُ الْمُطْلَقُ وهو ما يَقعُ عليه اسمُ الْماءِ بلا قَيْدٍ وإنْ رَشَح مِن بُخارِ الماءِ الطَّهورِ الْمُغْلَى أو اِسْتَهْلك فيه الْخَليطُ أوْ قيْدٍ بمُوافقةِ الْواقعِ كماء الْبَحْرِ بِخِلافِ ما لا يُذْكَرُ إلا مُقَيَّدًا كماءِ الْوَرْدِ

Syarat-syaratnya wudlu sama seperti syarat-syaratnya mandi, yaitu ada lima. Pertama, airnya adalah air mutlak. Maka tidak dapat menghilangkan hadas, tidak dapat menghilangkan najis, dan tidak pula dapat diperoleh untuk mensucikan hal-hal lainnya meskipun bersifat sunah, terkecuali dengan air yang mutlak. Air mutlak adalah sesuatu yang tetap dengan nama air tanpa dibatasi dengan yang lainnya, meskipun berasal dari tetesan uap air yang suci yang dimasak, atau ada sesuatu yang bercampur dengan air yang telah hancur tapi tidak merubah keadaan air. Atau termasuk air mutlak, yaitu nama air dibatasi oleh sesuatu yang disesuaikan tempatnya, seperti air laut. Berbeda dengan air yang tidak dapat terlepas dari sesuatu yang membatasinya, seperti air bunga mawar maka tidak dapat dibuat bersuci.

-غيرُ مُستعملٍ فى- فرضِ طهارةٍ مِنْ (رفعِ حدثٍ) أصغرَ أو أكبرَ ولو مِن طُهْرٍ حنَفىٍّ لم يَنْوِ أو صبيٍّ لم يُمَيِّزْ لطوافٍ

Syarat air yang mulak itu harus belum dipergunakan (musta’mal) untuk sesuatu yang harus bersuci dalam rangka menghilangkan hadas kecil maupun hadas besar, meskipun air bekas bersucinya orang yang bermazhab Hanafi yang tidak dengan niat atau bekas air wudlunya anak yang masih kecil yang belum tamyiz yang dibantu wudlunya oleh orang tuanya dalam rangka untuk melakukan thawaf.

-وَ- إزالةِ (نَجْسٍ) ولو مَعْفُوًّا عنه (قليلًا) أى حالَ كونِ الْمُستعمل قليلاً أى دون القُلَّتينِ فإنْ جَمَعَ المستعملَ فبَلَغ قلّتين فمُطَهِّرٌ كما لو جمع المُتَنَجِّس فبلغ قلتين ولم يتغَيّرْ وإنْ قلّ بعد تفْريقِهِ فعُلِمَ أنّ الاستعمالَ لا يَثْبُتُ إلا مع قِلَّةِ الماءِ أى وبعد انفصالِه عن المحلِّ المُستعمل ولو حُكماً كأنْ جاوزَ مَنْكِبَ المُتوَضّئِ أو رُكْبَتَه وإن عاد لِمحلّه أو انتقل من يَدٍ لِأُخْرى نعم لا يضُرُّ فى المُحْدِثِ انفصالُ الْماءِ من الكفِّ إلى الساعِدِ ولا فى الجُنُبِ انفصالُه من الرأْسِ إلى نحوِ الصَّدرِ مما يَغْلِبُ فيه التَّقاذُفُ.

Dan belum juga dipergunakan untuk menghilangkan najis, walaupun masuk kategori najis yang ditolerir oleh agama. Kedaan air yang telah dipergunakan itu kondisinya kurang dari 2 qullah (1¼ hasta/270 liter). Apabila air yang kurang dari 2 qullah dikumpulkan kemudian mencapai 2 qullah maka dikategorikan air yang suci mensucikan. Sebagaimana juga air yang terkena najis kemudian dikumpulkan dan telah mencapai 2 qullah dengan syarat tidak merubah kondisi air meskipun setelah dipisah-pisah air menjadi sedikit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa air musta’mal (air yang telah dipergunakan) itu bisa terjadi jika air tersebut jumlahnya sedikit setelah terpisah dari tempat digunakannya air, meskipun keterpisahan air bersifat hukmi (dalam kondisi bersuci), seperti air telah melewati bahu dari orang yang berwudlu atau telah melewati lututnya, ataupun air kembali lagi di tempat anggota wudlu yang dibasuh, atau air berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Iya demikianlah, namun tidak menjadi persoalan (air tidak menjadi musta’mal) pada orang yang dalam keadaan berhadas, berpindahnya air dari telapak tangan menuju kepada lengan. Tidak masalah juga pada orang yang junub (mempunyai hadas besar), berpindahnya air dari kepala menuju dada, sebab berpindah dari tempat-tempat yang air biasanya mengalir.

Wa Allahu A’lam bi Shawab ..

Post Author: Administrator

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *