Kitab Ghaitsul Mawahib Al Aliyyah fi Syarhil Hikami Al ‘Athoiyah

Pertemuan ke – 45

Syekh Abi Abdullah Muhammad bin Ibrahim bin ‘Abbad An Nafazi Ar Randi

Ranting NU Bogasari dan HMR

Selasa, 16 Maret  2021

Oleh. Ahmad Lahmudin

إنْ لم تُحسن ظنك به لأجل حسن وصفه فحسن ظنك به لوجود معاملتك معك فهل عوّدك إلا حُسنا, وهل أسدي إليك إلا مننا.

‘Jika engkau tidak berprasangka baik kepada-Nya, oleh sebab sifat baik-Nya. Maka prasangka baikmu, yaitu dengan sebab adanya urusan-Nya bersamamu. Tidakkah Dia telah membiasakan kepadamu terkecuali kebaikan? Tidakkah Dia telah memberikan kepadamu terkecuali nikmat-nikmat?’

Berprasangka baik kepada Allah Ta’ala merupakan salah satu dari maqam yakin. Manusia di dalam berprasangka baik kepada Allah terbagi dua, khos dan ‘am. Orang-orang yang berada dalam maqam khos, mereka berprasangka baik kepada Allah di sebabkan oleh sifat-sifat mulia dan luhur-Nya. Sedangkan orang-orang yang dalam maqam ‘am, yaitu di sebabkan banyaknya nikmat, keutamaan, kebaikan yang ada pada mereka.

Perbedaan di antara dua maqam tersebut sangat jelas. Karenanya, tidak dikhawatirkan terjadinya perubahan pada salah satunya dengan sebab sesuatu yang membuat khawatir kepada yang lain. Sebab orang-orang yang berada pada maqam yang pertama ketika mereka telah sampai kepada ma’rifat kepada Allah dan memperoleh cahaya keyakinan maka menjadi tenang hati-hati mereka, tidak tersisa tempat untuk curiga dan berprasangka buruk.

Adapun orang-orang yang berada dalam maqam yang kedua, cara pandang mereka tidak akan beralih kepada tindakan yang akan merubah kondisi mereka. Tidak pula merubah kondisi mereka ketika ditimpa oleh sesuatu yang tidak layak bagi mereka. Ketika membuat lemah sebab menanggung sesuatu yang diinginkan maka dikuatkan hati mereka. Mereka tidak akan melepaskan diri sebab bisikan prasangka buruk kepada Allah Ta’ala, sebab bisikan nafsu yang menyebabkan kegelisahan serta kecemasan. Maka hendaknya seorang hamba ketika itu melihat makna firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 216; عسى أن تكرهوا شيئا وهو خير لكم

‘Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagmu’
Juga makna yang semisal dengan ayat di atas. Hendaknya analogikan sesuatu yang jarang kepada sesuatu yang dominan terjadi.

Berkata Muhammad Abdul Aziz al-Mahdawi, Radiallahu ‘Anu, “Berprasangka baik merupakan suatu ungkapan memutus kecurigaan antara terjadi atau tidak. Sebab kecurigaan dapat membunuh di lain waktu. Manakala engkau memberikan telingamu untuk curiga maka dengan sendirinya engkau telah binasa. Sama halnya dengan mendengarkan dengan telinga setan dan nafsu yang merupakan sejenis”

Aku berkata, Seorang hamba dituntut untuk berprasangka baik dalam urusan dunianya maupun urusan akhiratnya. Adapun urusan dunianya, dia harus percaya kepada Allah Ta’ala bahwa Allah akan memberikan hal-hal yang bermanfaat dan berguna kepadanya tanpa kerja keras dan usaha, atau dengan usaha yang ringan yang diberikan izin dan ganjaran pahala. Yang demikian itu, ketika hamba tidak melewatkan sedikitpun dari perintah yang sunnah maupun yang wajib. Akan berakibat teruntuknya perasaan tenang, nyaman di jiwa dan raganya. Tidak akan ada tuntutan darinya. Tidak pula menggelisahkannya ketika ada sebab. Adapun urusan akhiratnya, rasa optimis akan diterima amal-amal baiknya dan terpenuhi balasan pahala di kehidupan akhirat. Kemudian bersegera untuk melaksanakan perintah dan memperbanyak amal-amal baik dengan adanya rasa senang, gembira, lezat, dan semangat.

Yahya bin Mu’az Radiallahu ‘Anhu berkata,

أوثق الرجاء رجاء العبد لربه, وأصدق الظنون حسن الظن بالله تعالى

‘Paling diyakininya pengharapan yaitu pengharapannya hamba kepada Tuhannya. Dan paling dibenarkannya dugaan yaitu berprasangka baik kepada Allah Ta’ala’

Termasuk tempat-tempat untuk berprasangka baik kepada Allah Ta’ala yang sepatutnya seorang hamba tidak terpisah dari-Nya, yaitu di waktu-waktu bencana, cobaan, dan datangnya musibah pada keluarga, harta dan badan. Agar ia tidak terjerumus di saat ketiadaan bersama-Nya ke dalam ketidak sabaran dan rasa amarah. Akan datang maknanya ini di dalam ungkapan Ibnu ‘Athaillah;

من ظن انفكاك لطفه عن قدره فذلك لقصور نظره

‘Barang siapa yang berprasangka hilangnya kasih sayang dari kekuasan-Nya maka itu di sebabkan lemah cara pandangnya’

Tempat terbesar adanya prasangka baik kepada Allah yaitu di saat kematian. Sungguh datang satu hadis;

لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بالله تعالى

‘Tidak meninggal salah satu di antara kalian terkecuali dia berprasangka baik kepada Allah Ta’ala’

Dalam hadis Jabir;

من استطاع منكم أن لا يموت إلا وهو يحسن الظن بالله تعالى فليفعل, ثم تلا هذه اﻟﺂية « وذلكم ظنكم بربكم أرداكم»

‘Barang siapa yang mampu dari kalian untuk tidak meninggal terkecuali berprasangka baik kepada Allah Ta’ala, maka lakukanlah! Kemudian Nabi membacakan ayat al-Qur’an surat Fussilat ayat ayat 23, “Dan itulah dugaanmu yang telah kamu sangkakan terhadap Tuhanmu, dugaan itu telah membinasakan kamu”

Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi;

   أنا عن ظن عبدي بي, فليظن ما شاء

‘Aku tergantung prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Maka berprasangkalah sesuai keinginannya’

Abu Thalib al-Makki Radiallhu ‘Anhu berkata;

وكان ابن مسعود يحلف بالله ما أحسن عبد ظنه بالله تعالى إلا أعطاه الله عز وجل ذلك, لأن الخير كله بيده, فإذا أعطاه حسن الظن به فقد أعطاه ما يظنه, لأن الذي حسن ظنه به هو الذي أراد أن يحققه له

‘Ibnu Mas’ud bersumpah atas nama Allah, “Tidak ada bagi seorang hamba yang berprasangka baik kepada Allah terkecuali Allah akan berikan kepadanya prasangka baiknya itu. Karena seluruh kebaikan berada dalam genggaman-Nya. Apabila seorang hamba memberikan prasangka baiknya kepada-Nya maka Allah akan memberikan prasangka baiknya itu kepadanya. Karena seseorang yang berprasangka baik kepada-Nya, yaitu seseorang yang menginginkan Allah mewujudkan prasangka baiknya teruntuknya” Diriwayatkan dari Abi Nadhar bin Hayyan, ia berkata, “Aku pergi menjenguk Yazid bin al-Aswad. Kemudian aku bertemu Wasilah bin al-Asqa’ yang juga berkeinginan untuk menjenguk Yazid bin al-

Aswad. Kamipun masuk, sementara Yazid berada di tempat tidurnya. Ketika Yazid bin al-Aswad melihat Wasilah maka dibentangkan tangannya sebagai isyarat. Wasilah kemudian mendekat hingga duduk di pembaringan. Yazid bin Al-Aswad mengambil kedua telapak tangan Wasilah untuk di tempatkan ke wajahnya. Wasilah pun berkata kepadanya, Aku meminta kepadamu tentang sesuatu yang akan engkau beritahukan kepadaku? Yazid berkata, Jangan engkau tanyakan kepadaku tentang sesuatu yang aku ketahui terkecuali aku telah beritahukan kepadamu. Wasilah berkata, Bagaimana prasangkamu terhadap Allah ‘Azza wa Jalla? Yazid menjawab, Demi Allah, aku berprasangka baik kepada Allah. Wasilah berkata, Bergembiralah kamu, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;

قال الله تبارك وتعالى (أنا عند ظن عبدي بي إن ظن بي خيرا وإن ظن بي شرا)

‘Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Aku tergantung prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Jika ia berprasangka baik, maka Aku pun baik kepadanya. Jika ia berprasangka buruk kepada-Ku, maka Akupun buruk kepadanya”

Diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudri, Radiallahu ‘Anhu, dia berkata;

عاد رسول الله صلى الله عليه وسلم مريضا, فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: كيف ظنك بربك؟ قال: يا رسول الله حسن الظن. قال: فظنك به ما شئت, فإن الله تبارك وتعالى عند ظن المؤمن به

‘Suatu ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam mengunjungi orang sakit. Rasulullah kemudian bersabda, Berprasangkalah kepada Allah sesukamu. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala  tergantung prasangka seorang mukmin kepada-Nya’

Abu Hurairah Radialahu ‘Anhu meriwayatkan, Sesungguhnya Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;

إن حسن الظن بالله من حسن عبادة الله

‘Sesungguhnya berprasangka baik kepada Allah termasuk baiknya ibadah kepada Allah’ Aku berkata, Hadis-hadis dan atsar-atsar yang berbicara tentang optimis dan berprasangka baik kepada Allah serta rahmat-Nya itu banyak tidak terhitung. Mempelajarinya termasuk tambahan kekuatan bagi seorang murid pada maqam ini. Barang siapa yang berharap sembuh, maka wajib mempelajari kitab ‘ar-Raja’ yang

termasuk makanan pokok bagi hati, juga kitab ‘Ihya’. Sebagian ulama berkata;

   ما زِلْتُ أرجو الله حتى كأنني    أرى بجميل الصِنْع ما هو صانع

‘Aku selalu berharap kepada Allah hingga seakan-akan aku melihat keindahan sesuatu yang dibuat tidak lain adalah pembuatnya’

Ibnu ‘Athaillah Rahimahullahu Ta’ala kemudian menjelaskan suatu kondisi ketika ditempati maka dipastikan hamba berada di maqam khusnuzzan kepada Allah Ta’ala. Maqam khusnuzzan itu adalah tetapnya hamba di pintu Allah, hatinya digantungkan dengan keesaan-Nya. Ibnu ‘Athaillah memberikan isyarat bahwa hal tersebut merupakan puncak kenikmatan, akhir keinginan-keinginan, bukan sesuatu yang dikhayalkan dan diingini oleh nafsu, berupa kenikmatan yang bersifat rasional dan keinginan-keinginan yang akan lenyap dan hilang. Dan dihukumi bahwa menyalahi ini bagian dari butanya hati dan termasuk sesuatu yang patut membuat heran bagi orang yang memiliki hati. Ibnu ‘Atahillah pun berkata …      

Wa Allahu Ta’ala Waliyyu at-Taufik

Post Author: Administrator

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *